saya adalah blogger pemula yang kebanyakan artikel disini adalah hasil surfing yang saya kopas, kebanyakan artikel yang saya kopas adalah artikel yang menurut saya pantas dan informatif sebagai pengetahuan tambahan. semoga artikel-artikel yang ada di blog yang sudah saya buat ini dapat sedikit membantu dan bermanfaat bagi saya dan para pengunjung sekalian. Terimakasih.

Jumat, 13 Januari 2012

Home » » Seputar Sains Kontemporer dan Agama

Seputar Sains Kontemporer dan Agama

hai sobat, . . . ni saya ada sedikit artikel (copas) tentang sains kontemporer dan agama, silahkan disimak.

semoga bermanfaat . . .


Tuhan adalah Fisika Kuantum?


Judul buku : Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama
Penulis : Ian G. Barbour
Penerbit : Mizan
Halaman :
"Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan Bumi."
--Kejadian I:1
"Tetapi, tak ada seorang pun yang melihatnya."
--Steven Weinberg, (The First Three Minutes, 1977)

Setiap kejadian menuntut suatu sebab. Tidak ada rangkaian tak terhingga dari sebab, sehingga mesti ada suatu "sebab pertama" bagi sesuatu. Dan sebab itu adalah Tuhan. Samuel Clarke dalam buku A Demonstration of the Being and Attributes of God (1978) menyatakan bahwa "tak ada yang lebih absurd daripada menduga bahwa sesuatu ada, bukannya tiada."
Keyakinan bahwa jagad raya sebagai keseluruhan mesti memiliki sebab, dan sebab itu adalah Tuhan, diucapkan pertama kali oleh Plato dan Aristoteles. Pemikiran sains-religius ini selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Aquinas serta mencapai bentuk yang meyakinkan oleh Gottfried Wilhelm van Leibniz dan Samuel Clarke pada abad ke-18. Pemikiran ini dikenal sebagai argumen kosmologis, yakni argumen kausal dan argumen kontingensi.
Argumen kosmologis dibicarakan dengan skeptisisme oleh David Hume dan Immanuel Kant, yang kemudian diserang secara sengit oleh Bertrand Russell. Sasaran argumen kosmologis berlapis dua. Pertama, menegakkan eksistensi "penggerak pertama", wujud yang menerangkan eksistensi dunia. Kedua, membuktikan bahwa wujud ini adalah Tuhan (God) sebagaimana dipahami oleh para teolog dalam doktrin Yudeo-Kristiani.
Dalam kehidupan, kita jarang meragukan bahwa seluruh kejadian alam semesta ini disebabkan dengan cara tertentu. Misalnya, sebuah jembatan ambruk karena jembatan tersebut kelebihan beban, salju mencair karena panas matahari, dan sebatang pohon tumbuh karena sebutir biji telah ditanamkan. Lalu, adakah sebuah benda tidak memiliki sebab?
Paul Davies, guru besar Fisika Teori pada Universitas New Castle-upon-Tyne, Inggris, dan penulis buku God and the New Physics (1987), menyatakan bahwa banyak ide baru bermunculan di garis depan fisika dasar: teori superstring dan pendekatan lain terhadap apa yang disebut Teori tentang Segala Sesuatu (Theories of Everything), dan kosmologi kuantum sebagai sarana untuk menjelaskan bagaimana alam semesta dapat muncul dari tiada (The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World, 1993).
Di samping itu, telah muncul perhatian luar biasa terhadap apa yang secara sederhana dapat dilukiskan sebagai titik-perjumpaan sains kontemporer dan agama. Pemikiran ini memperoleh dua bentuk yang berbeda. Pertama, dialog yang berkembang pesat antara ilmuwan, filsuf, dan teolog mengenai konsep penciptaan dan isu-isu terkait. Kedua, mode yang sedang berkembang dalam pemikiran mistik dan filsafat Timur, yang telah diklaim oleh beberapa komentator sebagai membuat kontak yang dalam dan bermakna dengan fisika dasar.
Kendati agama secara intrinsik memiliki unsur yang abadi, suci, dan final, pemahaman serta penafsiran atasnya bersifat terbuka dan manusiawi. Desakan untuk menafsirkan agama secara demikian itu semakin diintensifkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Sains dan teknologi telah memunculkan tantangan serius terhadap pandangan agama. Teologi klasik akan terlihat usang jika bersikeras mempertahankan doktrinnya tanpa mengupayakan tanggapan baru yang bersifat kreatif dan progresif.
Untuk itu, Profesor Ian G. Barbour, guru besar Fisika dan juga guru besar Teologi pada Carleton College, Amerika Serikat, mengajukan "teologi proses" sebagai jalan untuk mendobrak kebekuan pemikiran keagamaan dalam berinteraksi dengan sains kontemporer. Dengan mengambil ilham dari "filsafat proses" Whitehead, Barbour melalui buku Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama berupaya mengintegrasikan konsep sains kontemporer dengan agama. Dengan cara inilah, manusia diharapkan dapat lebih mengenal Tuhannya, alam semesta, dan hakikat dirinya sendiri, juga hubungan antara ketiganya.
Kekuatan buku ini terletak pada upaya penulis dalam mengintegrasikan karakteristik teori ilmiah yang fundamental dengan model pemahaman tentang Tuhan. Barbour mencoba memetakan hubungan sains dengan agama. Menurutnya, antara sains dan agama terdapat empat varian hubungan: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dalam hubungan konflik, sains menegasikan eksistensi agama dan agama menegasikan sains. Masing-masing hanya mengakui keabsahan eksistensinya. Dalam hubungan independensi, masing-masing mengakui keabsahan eksistensi yang lain dan menyatakan bahwa di antara sains dan agama tak ada irisan satu sama lain. Dalam hubungan dialog, dia mengakui di antara sains dan agama terdapat kesamaan yang dapat didialogkan antara para ilmuwan (saintis) dan agamawan (teolog).
Dalam buku ini, Barbour mengkaji apakah sains kontemporer dapat memberikan 'kunci' yang akan membuka rahasia (gaib) dari pertanyaan besar yang telah menarik perhatian umat manusia selama ribuan tahun. Ia mengeksplorasi eksistensi Allah (God) dan evolusi, genetika dan kodrat manusia, neurosains dan inteligensi buatan; serta teologi, etika, dan lingkungan.
Dengan memetakan cara bagaimana teori dari ilmuwan, seperti Charles Darwin, Stuart Kauffman, Arthur Peacocke, Alfred North Whitehead, Terrence Deacon, Claude Levi-Strauss, Paul Tillich, James Watson, dan Keith Ward, Barbour telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta. Ia menempatkan penemuan para ilmuwan ini ke dalam konteks bersama dengan tulisan para filsuf, seperti Plato, Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant.
Pemikiran sains kontemporer hingga teologi klasik dari para ilmuwan ini dicoba dipertemukan dan dipertentangkan satu sama lain dalam buku yang cukup memikat ini. Kesimpulannya yang mengejutkan kita adalah bahwa alam semesta bukanlah produk sampingan minor dari kekuatan tanpa pikiran dan tujuan. Kita sungguh berarti ada di sini. Dengan menggunakan sains kontemporer, kita dapat menemukan realitas Tuhan.
Menemukan Tuhan
Sebuah majalah di Amerika pernah menyatakan dalam headline: Astronomers Discover God! (Para Astronom Menemukan Tuhan!). Subyek artikel itu adalah Big Bang (Dentuman Besar) dan kemajuan mutakhir dalam pemahaman tentang penggalan waktu dari jagad raya. Fakta penciptaan itu sendiri dipandang memadai untuk mengungkapkan makna pernyataan: Tuhan menyebabkan penciptaan? Mungkinkah memahami penciptaan tanpa Tuhan?
Model biblikal tentang Allah adalah analog yang ditarik dari satu ranah pengalaman untuk menafsirkan peristiwa di dalam ranah pengalaman lain. Dalam Alkitab (Injil), ada pelbagai ragam model Allah. Dalam Kitab Kejadian, Allah dilukiskan sebagai perancang maha tahu yang memenangkan keteraturan (cosmos) atas kekacauan (chaos).
Teks biblikal lain melukiskan-Nya sebagai seorang perajin tanah liat yang sedang membentuk sebuah barang (Yeremia 18:6; Yesaya 64:8) atau arsitek yang membangun fondasi untuk sebuah bangunan (Ayub 38:4). Allah dibayangkan sebagai Tuhan dan Raja, yang memerintah baik atas alam maupun sejarah. Dalam Perjanjian Baru, Allah mencipta melalui Firman (Yohanes 1), sebuah istilah yang menyatukan ide Ibrani akan Firman Ilahi yang aktif dalam dunia dan pandangan Yunani akan firman (logos) sebagai prinsip rasional.
Kaum muslim memahami bahwa kegaiban Allah menyangkut salah satu sifat utama dan fundamental Allah. Kitab suci Al-Quran secara tegas dan deterministis--misalnya QS.10:101--memerintahkan umat manusia untuk mengkaji secara sistematis, cermat, dan sabar terhadap fenomena alam semesta. Allah Swt. berfirman: "Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia." (QS.2:117)
Semua ini adalah variasi yang kaya dari pelbagai ragam model Allah, yang masing-masingnya merupakan analog parsial dan terbatas, yang secara imajinatif menggarisbawahi cara pandang partikular akan relasi Allah dengan dunia (hlm. 228).
Pandangan ortodoks berpendapat bahwa Tuhan itu bukan zat. Logika ilmiah--sebagaimana pernah diungkap Friedrich Nietzsche, Clarke, Leibniz, Hume, Kant, dan Russell--menyatakan hanya ada tiga jenis zat, yakni zat padat, cair, dan gas. Selain itu tidak ada lagi. Tetapi ada sesuatu yang bukan zat yang selalu digunakan untuk memikirkan sesuatu, yaitu "pikiran" itu sendiri. Adakah yang mampu menggambarkan seperti apa wujud pikiran itu? Jika tidak ada, artinya ada "zat" yang tidak terbentuk zat seperti yang kita kenal.
Menurut para teolog, kehidupan merupakan mukjizat tertinggi dan kehidupan manusia merepresentasikan pencapaian yang teranugerahkan dari rancangan induk kosmis Tuhan. Bagi ilmuwan, kehidupan adalah fenomena paling menarik dalam alam semesta. Seratus tahun yang lalu, pokok persoalan tentang asal usul dan evolusi sistem kehidupan menjadi 'medan pertempuran' bagi bentrokan terbesar antara sains dan agama sepanjang sejarah kontemporer.
Teori evolusi Charles Darwin mengguncang fondasi doktrin Kristen dan lebih dari ungkapan lain apapun sejak Nicolaus Copernicus menempatkan Matahari pada pusat sistem tata surya. Konsep ini menyadarkan orang kebanyakan terhadap konsekuensi berjangkauan jauh dari analisis ilmiah. Sains kontemporer, demikianlah tampaknya, dapat mengubah keseluruhan perspektif manusia tentang diri dan relasinya dengan jagad raya.
Bibel menyatakan secara eksplisit bahwa kehidupan merupakan akibat langsung dari aktivitas Tuhan. Ia tidak muncul secara alamiah sebagai akibat proses fisik yang ditegakkan setelah penciptaan langit dan Bumi. Sebaliknya, Tuhan memilih untuk menghasilkan--melalui kekuasaan ketuhanan--mula-mula tumbuh-tumbuhan dan binatang, kemudian manusia. Tentu saja mayoritas umat Kristiani dan Yahudi mengakui hakikat alegoris dari "Kejadian" dan tidak berupaya membela versi Bibel dari asal-usul kehidupan sebagai fakta historis.
Fisika Kuantum
Ide tentang Tuhan Sang Pencipta, yang menyebabkan jagad raya dari kehendak bebas-Nya, berakar kuat dalam budaya Yudeo-Kristiani. Namun, kita telah melihat bagaimana asumsi semacam itu memunculkan problem lebih banyak ketimbang yang dapat diselesaikannya. Kesulitannya melibatkan persoalan tentang hakikat waktu dan ruang.
Jika waktu tercakup dalam jagad raya dan tunduk pada hukum fisika kuantum (quantum physics), ia harus dimasukkan dalam jagad raya yang Tuhan diduga telah menciptakannya. Tetapi apakah artinya mengatakan bahwa Tuhan menciptakan waktu, dalam kaitan dengan pemahaman suatu sebab harus mendahului efeknya? Kausasi adalah aktivitas temporal. Waktu harus telah eksis sebelum sesuatu dapat disebabkan. Gambaran naif tentang Tuhan yang eksis 'sebelum' jagad raya jelas absurd jika waktu tidak eksis--jika tidak ada 'sebelum'.
Argumen kontingensi akan jatuh menjadi korban kesuksesannya sendiri, seandainya kita memperluas definisi "jagad raya" yang mencakup Tuhan. Lalu, apakah penjelasan untuk Tuhan secara total plus jagad raya fisik yang mencakup ruang, waktu, dan materi? Para teolog akan menjawab: "Tuhan adalah wujud 'niscaya', tanpa memerlukan penjelasan. Tuhan memuat di dalam diri-Nya penjelasan tentang eksistensinya sendiri." Jika itu demikian, mengapa kita tidak dapat menggunakan argumen yang sama untuk menjelaskan jagad raya: Jagad raya 'niscaya', ia memuat di dalam dirinya alasan bagi eksistensinya sendiri?
Alam semesta yang kompleks tetapi teratur secara mengagumkan ini pasti memiliki suatu sistem pengatur yang lebih canggih dari hukum alam semesta itu sendiri. Akan tetapi, sistem pengatur tersebut bukan suatu pribadi yang dikenal dengan sebutan "Tuhan" (atau God/ dalam definisi Yudeo-Kristiani), sebab Tuhan tidak dapat menjadi yang paling perkasa jika Dia sendiri tunduk kepada hukum fisika kuantum mengenai waktu. Jika Tuhan tidak menciptakan waktu karena waktu melahirkan dirinya sendiri, tentunya Dia juga tidak pernah menjadi pencipta alam semesta. Kedua masalah tersebut saling bergantungan.
Sebagian ahli fisika karena terilhami oleh simplisitas hukum fundamental yang dimiliki alam semesta, telah berargumentasi bahwa boleh jadi hukum tertinggi (dalam hal ini adigaya) memiliki struktur matematis yang terdefinisi secara unik sebagai satu-satunya prinsip fisika yang konsisten secara logis. Katakanlah, fisika dinyatakan 'niscaya' sama halnya dengan Tuhan dinyatakan 'niscaya' oleh para teolog. Lalu, haruskan kita berkesimpulan bahwa "Tuhan adalah fisika kuantum" sebagaimana telah dilakukan oleh para filsuf seperti Plato?
Apakah yang dapat menjelaskan struktur ruang-waktu dan hukum fisika kuantum yang bahkan dapat menghasilkan suatu dunia yang cocok untuk hidup dan daya inteligensi? Keberatan utama Ian Barbour atas argumentasi ini lebih bersifat teologis daripada ilmiah. Walaupun argumen itu diterima, ia toh hanya mengarah ke Allah versi deisme, yang merancang-bangun alam semesta ini, lalu meninggalkannya berjalan sendiri-dan bukan Allah versi teisme yang terlibat secara aktif dalam dunia dan hidup manusia (hlm. 35).
Kalau kita mengandaikan bahwa "Allah mengendalikan semua ketidaktentuan," kita dapat mempertahankan ide tradisional tentang predestinasi. Ini lebih merupakan determinisme teologis daripada fisikal, sebab tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi secara kebetulan.
Sebuah pendapat alternatif mengatakan bahwa sebagian besar peristiwa kuantum terjadi secara kebetulan, tetapi "Allah memengaruhi beberapa di antaranya" tanpa melanggar hukum statistik dari fisika kuantum. Pandangan ini pun sesuai dengan bukti ilmiah (hlm. 83).
Sayangnya, pemikiran genial dari penulis buku Menemukan Tuhan ini dibatasi hanya pada teologi Kristen. Karena itu, buku ini dilengkapi pula dengan Pengantar dari sudut pandang (konsepsi) keimanan Islam yang ditulis Armahedi Mahzar, ilmuwan ITB Bandung.
Keimanan Islam kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Nabi SAW: "Dia (Allah SWT) satu; Dia nyata sekaligus gaib, pertama sekaligus terakhir, tak ada bandingan dan tak ada yang menyamai." Dan Al-Quran menegaskan, "Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS.20:50)
Konsepsi tentang Allah adalah inti dari seluruh keimanan, ajaran, dan praktik dalam doktrin keislaman. Pilar penyangga segenap bangunan Islam. Dengan konsepsi ini, kita dapat mengukur apakah dalam kehidupan ini pandangan, pemahaman, penilaian, dan sikap kita tentang kejadian alam semesta sudah benar atau masih menyimpang dari kebenaran. Konsepsi ini juga menetapkan batas kualitas kemanusiaan kita. Setidaknya upaya menyeimbangkan dengan konsepsi Islam--memadukan sains kontemporer dan agama ala Ian Barbour--melalui buku ini telah diupayakan, walaupun sangat sedikit dan dangkal.
Buku ini, selain merupakan dialog sains kontemporer dengan agama, diharapkan dapat membuka arah baru bagi dialog lintas-agama. Melalui buku ini, kita diajak berekreasi bersama logika dan nalar untuk mengetahui dan memahami eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Tidak berlebihan jika karya Profesor Ian Barbour ini menjadi rujukan penting dalam menemukan konsepsi Tuhan, dan memandu pembaca mencapai puncak ilmu.
l
Syafruddin Azhar, pengamat perbukuan dan editor pada PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.

sumber: http://www.ruangbaca.com/buku_bulan_ini/?action=b3Blbg%3D%3D&id=MTg%3D.&when=MjAwNTA3MjE%3D 

Sains Kontemporer dan Agama Islam

selama seabad ini sains mengalami perkembangan amat pesat dari era fisika klasik menuju fisika modern (kuantum). Terutama sejak lahirnya teori relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Fisika kuantum merupakan salah satu pilar dari fisika modern yang mempelajari fenomena berskala sub atomik. Secara praktis kegunaan dari fisika kuantum sangat banyak, mulai dari komputer yang kita gunakan hingga teknologi laser, baik yang digunakan dalam persenjataan maupun yang ada dalam CD-ROM pada komputer kita dan sel surya. Dalam teori kuantum, kita pahami bahwa alam semesta (baca: alam partikel) bersifat fluktuatif atau tidak ada yang pasti, karena dikontrol oleh asas ketidakpastian Heisenberg sehingga hanya probabilitas posisi dan momentumnya saja yang kita ketahui. Meskipun Einstein dikenal sebagai salah satu perintis fisika kuantum, ia membenci hal tersebut. Seperti ucapannya yang terkenal, ”Tuhan tidak melempar dadu!”. Lahirnya fisika kuantum membawa kita menuju ”pemahaman baru” mengenai alam semesta.

Materi (baca : partikel) dalam mekanika kuantum memang tidak real karena ia selalu memiliki sifat gelombang akibat gerakannya. Sementara di semesta ini tidak ada partikel yang diam mutlak. Ilustrasinya adalah saat kita lihat seseorang yang sedang duduk. Meski secara kasatmata ia nampak diam, namun menurut mekanika kuantum tidaklah demikian. Orang tersebut jelas tersusun oleh partikel-partikel seperti proton, elektron dan neutron ditambah meson (yang saling bertukaran antar neutron dalam menciptakan gaya inti) yang semuanya selalu bergerak. Sementara menurut mekanika kuantum, partikel yang bergerak selalu menghasilkan gelombang de Broglie sehingga status partikel itu menjadi bias. Satu saat ia muncul sebagai materi, sementara di saat yang lain ia juga muncul sebagai gelombang. Sehingga partikel-partikel penyusun orang yang sedang duduk itu sebenarnya selalu berganti-ganti sifat dari materi ke gelombang dan sebaliknya secara terus menerus. Sementara itu para fisikawan menggunakan teori relativitas Einstein untuk menerangkan kosmologi (asal usul semesta) yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Di sini diperoleh gambaran bahwa alam semesta berasal dari satu titik Big Bang lalu berekspansi secara terus-menerus. Dengan menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum, kita dapat menyimpulkan bahwa materi merupakan bentuk energi yang terkurung dalam ruang-waktu yang melengkung.
Ilmu pengetahuan atau sains ibarat lampu senter yang menerangi satu sudut kamar yang gelap sementara sudut lain yang tidak terkena cahaya masih gelap dan menyisakan misteri bagi kita. Murtadha Muthahari, seorang filsuf Persia menggambarkan ilmu pengetahuan yang dipersepsi manusia ibarat buku yang lembaran awal dan akhirnya hilang. Ia tidak memberikan pemahaman utuh kepada kita. Kenapa begitu? Sains, atau ilmu-ilmu empirik menuntut kita memperoleh pemahaman yang didapat dari hasil penginderaan (baca : eksperimen). Ketika kita ingin mengamati suatu realita, kita membatasinya dalam ruang laboratorium observasi dengan variabel-variabel terkontrol. Sementara kita melakukan pengamatan, realita tersebut sudah jauh meninggalkan kita.
Teori Relativitas Einstein dan Fisika Kuantum telah memberikan jalan bagi kita untuk memahami alam immateri dalam kosmologi, meskipun ia tidak bisa kita gunakan sebagai satu-satunya jalan. Dalam tulisan sebelumnya, telah kita simpulkan melalui argumen-argumen yang kuat bahwa ilmu empirik tidak dapat menjelaskan kosmologi yang sebenarnya. Dengan jalan pemahaman filosofis serta gabungan dari pengetahuan selainnya, insyaallah kita dapat menemukan kosmologi yang sebenarnya.
Jika waktu tercakup dalam jagad raya dan tunduk pada hukum fisika kuantum, ia harus dimasukkan dalam jagad raya yang Tuhan diduga telah menciptakannya. Tetapi apakah artinya mengatakan bahwa Tuhan menciptakan waktu dalam kaitan dengan pemahaman suatu sebab harus mendahului akibatya? Kausasi adalah aktivitas temporal. Waktu harus telah eksis sebelum sesuatu dapat disebabkan. Gambaran naif tentang Tuhan yang eksis ‘sebelum’ jagad raya jelas absurd jika waktu tidak eksis–jika tidak ada ‘sebelum’. Lalu bagaimana? Melalui prinsip falsafi, terdapat argumen hukum kausalitas bahwa setiap kejadian menuntut adanya sebab. Tetapi tidak mungkin ada rangkaian sebab tak berujung, sehingga mesti ada suatu sebab pertama (Causa Prima) yang tak bergantung pada sebab. Atau dengan kata lain, Ia dengan sendirinya bebas dari hukum kausalitas dan mandiri–tidak relatif atau tak bergantung pada hukum kausal yang merupakan aktivitas temporal. Tuhan harus menjadi Wujud Yang Sejati. Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya. Ia adalah Awal dan Akhir (tidak dibatasi ruang-waktu). Karena jika Tuhan relatif dan tunduk pada hukum-hukum fisika dalam batas ruang-waktu, maka gugurlah KetuhananNya.
Kita di sini terikat dalam ruang-waktu sehingga tidak mungkin keluar darinya kecuali kita berhasil menjadi seperti cahaya. Jika sebuah materi bergerak dengan kecepatan cahaya, massa relatifnya menjadi tak berhingga dan panjang fisiknya berkurang. Sekiranya ia mencapai kecepatan cahaya, maka waktu akan berhenti baginya dan ia akan memiliki massa tak berhingga namun tanpa ukuran dengan energi yang dahsyat. Diri kita (sebagai materi) sebenarnya menyimpan energi, yang disetarakan dengan massa dan kecepatan dalam persamaan Einstein yang terkenal (E=mc2). Dengan meminjam istilah Einstein, materi adalah energi yang membeku/terkurung dalam ruang-waktu yang melengkung.
Dalam doktrin realitas al-Quran dinyatakan,
“La hawla wala quwwata illa billah.”
Tiada kekuatan selain dari Allah, artinya semua kekuatan seluar-biasa apapaun yang kita persepsi sebagai berasal “dari bukan Tuhan” MUSTAHIL bukan dariNya. Ini adalah prinsip falsafi, bukan sekedar teologis atau kalami. Tuhan Maha-Ada, artinya Tuhan “sumber ada” (untuk mengedepankan “kesopanan” ontologis) sehingga “ada” Tuhan tidak begitu saja disinonimkan atau diparalelkan dengan “ada” semisal materi, apalagi hanya sekadar “nama semantik” (“botol”, “pohon”, dst) yang sering dijadikan paralelisme linguistik antara “ada tuhan” dan “ada benda-benda atau nama-nama” oleh oknum yang cetek filsafat. Konsekuensi ontologisnya, Tuhan Maha-Tunggal. Dengan ketunggalan itulah, kita tidak dapat membayangkan adanya kekuatan yang bukan berasal dari Tuhan karena ketunggalan sudah inheren kekuatan yang Serba-Maha, melampaui semua kekuatan lain. Lalu bagaimana relasi antara kekuatan Tuhan dengan kekuatan-keuatan lain? Tergantung mau dipandang dari sudut pandang mana. Jika dari segi fenomen (bukan struktur ontologisnya sebagaimana telah sekilas diulas di atas) maka pada prinsipnya, semua adalah “kekuatan Tuhan”, karena mana mungkin “kekuatan-keuatan lain” disebut atau “menguat” bila bukan berasal dari pancaran kekuatan-Nya dalam intensitas tertentu. Jika bukan berasal dari-Nya, lantas darimana kekuatan itu berasal? Katakanlah dari orang tersebut. Pertanyaan fundamentalnya, apakah “kekuatan dirinya” itu merupakan sesuatu yang diciptakan atau diusahakannya, atau berhimpitan dengan keberadaan dan kemenjadian dirinya sehingga “eksis begitu saja”? “Kekuatan” yang “ada begitu saja” seiring proses bertumbuhnya suatu maujud merefleksikan bahwa kekuatan itu bukan berasal dari dirinya, dan dalam pandangan Islam, itulah yang diyakini betul sebagai semata-mata berasal dari Tuhan yang Maha-Kuat..
Semoga Allah merahmati seorang hamba yang takut kepada Tuhannya, menasehati dirinya, menyegerakan tobatnya dan mengalahkan hawa nafsunya. Sebab, sesungguhnya ajalnya tersembunyi darinya, angan-angannya menipunya, sedangkan setan senantiasa menyertainya (berupaya menyesatkannya).” -Imam Ali bin Abi Thalib
sumber: http://haidarasad.wordpress.com/2011/08/03/sains-kontemporer-dan-agama-islam/

 




Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar