Anda tentu sudah amat
familiar dengan lambang dunia kedokteran yaitu sebatang tongkat dengan
ular yang melingkarinya. Bilamana ditanya apa nama dari lambang ini,
sebagian akan menjawab dengan ‘caduceus’ dan sebagian lainnya dengan ‘staff of aesculapius’. Salah satu dari nama ini sesungguhnya adalah salah kaprah dan nanti akan dijelaskan mengapa. Staff of aesculapius dilambangkan dengan sebatang tongkat dengan satu ekor ular yang melingkarinya, sedangkan caduceus dilambangkan dengan sebatang tongkat dengan dua ekor ular yang melingkarinya dan ditambah sepasang sayap di kiri kanannya (lihat pada gambar).
Staff of aesculapius (juga disebut ‘rod of aesculapius’) mengacu pada tongkat dewa penyembuhan dan pengobatan Yunani bernama Asclepius. Sedangkan caduceus
adalah tongkat yang digenggam Hermes, dewa Yunani pelindung para
pedagang. Jadi simbol yang benar dari dunia kedokteran sebetulnya adalah
‘staff of aesculapius’. Namun karena sudah terjadi ‘salah kaprah’, maka simbol ‘caduceus’ justru dipakai secara luas di kawasan Amerika Utara sebagai perlambang dunia kedokteran.
Mengapa dipakai lambang ular untuk merujuk pada seni pengobatan dan kedokteran (medicine) ini? Konon di zaman Hippocrates (bapak kedokteran) hidup, mereka yang sakit akan ditempatkan pada kuil penyembuhan (healing temple)
yang diberi nama ‘asclepieion’. Di pendapa kuil ini berkeliaran ular
tak berbisa yang dipelihara sebagai bagian dari ritual penyembuhan para
pasien. Bisa (racun) ular memang dari dahulu kala menyimbolkan kehidupan dan kematian. Racun (venom)
ini bila memasuki pembuluh darah akan mematikan (fatal), tetapi bila
diminum dapat merupakan obat untuk menyembuhkan sejumlah penyakit.
Simbol tongkat dan ular (staff of aesculapius)
ini mulai dipakai orang sekitar tahun 1600an. Namun sejarah yang
merujuk pada kuil pengobatan zaman Yunani kuno ini tak serta merta
diakui semua pakar sejarah kedokteran. Ada teori lain yang diyakini
sebagai asal muasal lambang tongkat dan ular ini. Dia berasal dari
penyakit cacing pita yang banyak menjangkiti manusia berabad-abad yang
lampau, khususnya di kawasan Mediterania dan benua Afrika. Nama cacing
pita ini adalah Dracunculus medinensis (bermakna ’little dragon from Medina’) karena di kota Medina ini penyakit ini dahulu banyak berjangkit, dan nama awamnya adalah Guinea worm, karena cacing ini dahulu banyak berkembang biak di pantai Guinea, Afrika Barat.
Penyakit guinea worm
ini sangat mengerikan. Setelah larvanya masuk ke dalam perut melalui
air minum yang tercemar, maka dia tumbuh menjadi cacing pita dewasa.
Cacing pita jantan biasanya akan mati, tetapi cacing pita betina yang
bisa mencapai panjang hingga satu meter, akan menembus dinding usus dan
berkelana sampai di bawah permukaan kulit. Di situ dia akan membuat borok yang menimbulkan rasa nyeri yang amat sangat. Melalui lubang di borok ini, guinea worm
ini akan mengeluarkan sebagian dari anggota tubuhnya untuk bertelur.
Lokasi lubang borok ini biasanya di kaki, di lengan, di batang tubuh
(torso), di pantat dan alat kelamin.
Anggota
tubuh cacing yang menjulur sebagian ini tak mudah untuk ditarik keluar
dengan tangan penderitanya secara utuh. Bilamana badannya terputus
sebagian di dalam badan si penderita, maka akan menimbulkan infeksi
beracun yang mengakibatkan artritis bila terjadi di persendian dan
kelumpuhan bila terjadi di sumsum tulang belakang.
Oleh
karenanya, untuk ’memancing’ cacing pita ini, penduduk setempat memakai
cara tradisional yang dianggap ampuh sejak beratus tahun yang lalu.
Anggota tubuh cacing pita yang menjulur keluar dari lubang borok ini
dipilin dengan sebatang ranting kecil. Secara berkala, ranting ini
digulung dengan berhati-hati sehingga semakin lama semakin banyak
anggota badan cacing ini yang tercabut. Persis seperti menggulung benang
layang-layang. Pada fiksi ’Dutch Wife’ karangan Eric McCormack,
dilukiskan dengan realistis seorang penjual buah di pasar bertelanjang
dada dan sesekali jari tangannya memilin ranting kecil yang seakan
menempel di perutnya.
Inilah kutipan narasi novel ’Dutch Wife’ mengenai ’guinea worm’: One
morning early we went down to the market. At the busiest fruit stall,
the stallkeeper was a big man, naked to the waist. He had a twig, a few
inches long, somehow stuck to the surface of his belly. While he was
talking to my friend about the freshness of the cantaloupes and the
oranges, his fingers would occasionally go to the twig. He’d give it a
little slow twirl, the way you wind a wristwatch. (Suatu pagi kami pergi ke pasar. Di kios buah penjualnya yang berbadan besar bertelanjang dada. Ada
ranting berukuran beberapa inci yang nampak menempel di perutnya.
Sembari dia menawarkan buah kantalop dan jeruk, sesekali jarinya meraba
ranting kecil itu. Dia akan memilinnya perlahan-lahan, seperti kalau kita memutar tombol arloji).
Konon
gambaran ranting kecil dan cacing yang terlilit di situ yang menjadi
ilham untuk simbol dunia kedokteran. Penyakit yang sudah menjangkiti
manusia berabad-abad lamanya ini kini sudah hampir dapat dieradikasi.
Berkat kampanye Badan Kesehatan Dunia yang tak kenal lelah, dracunculiasis
(penyakit cacing Dracunculus medinensis) sudah hampir hilang dari muka
bumi. Mungkin dengan melihat simbol kedokteran kita bisa mengenang bahwa
di suatu masa pernah ada penyakit horor yang disebabkan oleh guinea worm.
sumber; http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/10/08/sejarah-simbol-tongkat-dan-ular-dunia-kedokteran/